Artikel
Benarkah
iklan mendorong perilaku konsumtif bagi masyarakat ?
Iklan
telah menjadi media andalan bagi para produsen untuk memperkenalkan produk
mereka. Tidak bisa dipungkiri, iklan mampu menyihir khalayak untuk mengkonsumsi
produk yang ditawarkan. Secara fungsional iklan bertujuan memberikan informasi
dan mengajak masyarakat untuk membeli produk produsen. Namun, Iklan sering tampil dengan menyuguhkan produk
yang dilebih-lebihkan tanpa memikirkan efek negatif kedepannya. Hal ini membuat
masyarakat mudah tergiur untuk mencobanya dan menimbulkan sikap konsumtif.
Secara sederhana iklan adalah pesan
yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu
media. Semakin leluasanya produsen dalam mengiklankan produk mereka, semakin
besar pula kesempatan membujuk masyarakat untuk mengkonsumsi produknya. Pada
sebagaian masyarakat berkembang suatu kebutuhan akan barang barang material
terus meningkat, yang sebagian disebabkan oleh diterapkannya strategi pemasaran
baru seperti periklanan. Orang-orang biasa pun menjadi semakin memperhatikan
nilai-nilai simbolis suatu produk paling mutakhir dan bergaya.
Selain
menggunakan billboard, baliho maupun spanduk, di zaman modern ini iklan tidak
lagi tersebar di media cetak maupun media televisi, melainkan sudah merambah di
media online. Media cetak seperti brosur dan pamflet seolah ketinggalan zaman,
walaupun masih ada beberapa produsen yang menggunakan cara ini dengan
menyebarkan poster di perempatan maupun tempat ramai. Namun, dapat diamati
poster yang mereka sebar kepada masyarakat yang sedang berlalu lalang tidak cukup
menarik perhatian. Banyak masyarakat menerima poster tanpa membaca maupun mengamati
tulisan atau gambar kecil yang terdapat pada brosur tersebut. Tidak jarang
masyarakat, malah membuang brosur tersebut secara percuma.
Sama
seperti buku, internet juga dapat dikatakan sebagai jendela dunia. Internet
berperan penting dalam promosi maupun berbisnis. Pengiklan berupaya keras dan tak
tanggung-tanggung mengeluarakan budget yang besar, demi terciptanya sebuah
iklan yang menarik perhatuian publik. Contohnya dalam media sosial instagram, produsen
atau perusahaan tertentu memanfaatkan artis-artis terkenal dan selebgram untuk
mengiklankan produk kecantikan. Tak sembarangan, artis-artis dan selebgram yang
menjadi bintang iklan apalagi brand ambasador dibayar dengan puluhan bahkan
ratusan juta rupiah per iklan. Artis-artis dan selebgram tersebut seolah-olah
dibuat menggunakan produk tersebut dan bercerita bahwa produk yang digunakan
adalah produk yang berkualitas tinggi yang mampu membuat kulitnya putih, mulus
dan cantik seperti yang ada dalam foto maupun video dalam akunnya. Cara seperti
ini efektif mensugesti masyarakat terutama remaja perempuan untuk
berlomba-lomba membeli produk tersebut supaya terlihat bersinar seperti sang
artis.
Dalam media televisi pun, iklan
pastilah dibuat semenarik mungkin, kata-kata yang diucapkan dirangkai secara
hiperbola serta menampakkan manipulasi visual untuk membuat khalayak tertarik.
Misalnya saja iklan produk Shampo dengan bermodalkan kalimat “ 2 kali lebih lembut
tampak lebih hitam berkilau” akan membuat khalayak ambisius untuk memiliki
rambut hitam dan lebat seperti yang ada diiklankan tersebut lalu merasa
terpanggil untuk membeli dan menggunakan produk tersebut. Padahal iklan
tersebut tidak hanya menggunakan kata kata hiperbola tersebut namun masih ada
tulisan kecil “dengan pemakaian teratur”. Belum lagi opini yang dibentuk oleh
iklan tersebut bahwa cantik itu yang memiliki rambut hitam panjang dan lebat,
pasti produk tersebut akan diserbu jika persepsi yang dimiliki orang sama.
Kemudian
contoh selanjutnya adalah pemakaian baju yang bermerek ataupun tas yang berlogo
ternama. Perusahaan baju dan tas tersebut sudah tersohor di Indonesia bahkan
mancanegara. Dengan adanya iklan yang mewah nan elegan beserta visualisasi
gambar dan editing yang ciamik membuat produk tersebut laku keras dipasaran. Padahal
manfaat produk tersebut sama dengan baju maupun tas yang ada di toko maupun
pasar tradisional. Hanya saja masyarakat jadi tergiur nafsu dan gengsi untuk
membeli produk bermerek tersebut. Hal ini mengakibatkan sikap konsumtif yang
dapat merugikan diri sendiri.
Di Indonesia terdapat suatu wadah
yang mengawasi tentang periklanan salah satunya ialah PPPI (Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia). PPI menghimbau agar konsumen bersikap kritis
terhadap iklan dengan cara melaporkan iklan-iklan yang bermasalah atau
melanggar peraturan dan etika kedalam web yang telah disediakan. Masyarakat
sepatutnya berani mengambil sikap demi terciptanya keharmonisan antara produsen
dengan konsumen.
Pengamat hukum Muhammad Mirza Harera
menyarankan kepada pengiklan untuk tidak ‘nakal’ dalam mempromosikan produknya
dan sesuai dengan perlindungan konsumen. Saat ini banyak pengiklan yang
mempromosikan produknya dengan memberikan diskon besar-besaran , namun
sebenarnya malah memberi harga yang lebih mahal. Promosi atau iklan bisa
dilakukan berbagai macam salah satunya memberikan diskon 50 sampai 100 persen,
padahal barang atau produk tersebut harganya sudah dinaikkan sebelum didiskon.
Apabila orang yang belum tahu harga sebenarnya, maka orang tersebut akan
tergiur dan segera membeli secepatnya dan sebanyak-banyaknya produk tersebut.
Padahal promosi iklan yang menyesatkan melanggar pasal 9 ayat (1) dan bisa
dikenakan pasal 62 undang-undang perlindungan konsumen dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau denda Rp. 2 miliar.
Melalui ulasan-ulasan tersebut dapat
disadari iklan akan berpengaruh besar terhadap perilaku konsumtif masyarakat.
Masyarakat sendiri harus dan perlu berhati-hati dalam memilah dan memilih mana
informasi yang bisa diserap dan mana informasi yang harus dibuang dalam suatu
iklan. Kendalikan sikap ego tinggi dan rasa mudah tergiur akan suatu barang
yang tidak terlalu bermanfaat dalam kehidupan sehari hari. Kurangi budaya
konsumtif dan prioritaskan barang yang dibutuhkan daripada barang yang
diinginkan.
*Artikel Ilmiah
Komentar
Posting Komentar