Review Film Dilan

Review : Milea, Suara dari Dilan
Dilan Juga Manusia Biasa kok !

Tenang saja, tidak ada yang menyedihkan dari perpisahan. Yang menyedihkan adalah bila habis itu saling lupa.

Aku sudah lama merampungkan tiga cerita Dilan sekaligus dalam waktu yang cukup cepat. Rasanya tidak afdol jika tidak menikmati dari sajian visualnya. Apalagi film ini tidak lepas dari campur tangan penulisnya yaitu Pidi Baiq. Saat membaca cerita pertama adalah hal hal menyenangkan menjadi sosok Milea. Dilan adalah sosok lelaki yang begitu istimewa. Dilan unik dengan segala bahan obrolan yang tak terduga. Dilan adalah pelindung dari apapun yang mengusik Milea, juga dia adalah gangster yang siap bertempur melawan apapun yang mengganggunya. Ya, mungkin Dilan terlihat sempurna pada sekuel pertama, namun pada akhirnya dilan adalah lelaki biasa. Lelaki yang tidak biasa-biasa saja saat putus cinta dan kehilangan.
Pada sekuel kedua masih menceritakan kelanjutan bagaimana ia merajut kasih bersama Milea. Nyatanya Milea tidak selalu menyenangkan, Milea tidak bisa diam saja dengan apapun menyangkut geng montor yang diketuai pacarnya. Bagi Milea geng montor adalah hal negatif yang mampu merusak Dilan. Sampai akhirnya Milea meledak, ia sudah jengah dengan Dilan yang tak mau mendengarnya. Apalagi peristiwa meninggalnya Akew yang diduga disebabkan oleh Geng Montor semakin membuat Milea mengambil langkah untuk memutuskan Dilan. Aku pikir pengekangan terhadap seseorang adalah hal tidak baik, namun bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati ?
   Aku lebih tertarik pada sekuel ketiga Milea, Suara dari Dilan. Dimana sudut pandang Dilan adalah sisi jujur dari kehidupannya. Tentang keluarganya yang hangat. Tentang Dilan yang hanyalah anak SMA yang suka makan bala-bala di warung Bi Eem. Tentang Dilan yang merupakan remaja SMA yang baru dipecat dari sekolahnya di buah batu. Dilan yang sering nongkrong di warung kopi seperti laki-laki pada umumnya. Juga tentang Dilan yang rapuh ditinggal sahabat serta ayahnya untuk selama-lamanya.
Scene Dilan dan Milea di pasar buku bagus. Tadinya mau beli majalah playboy, karena Dilan ngakunya anak baik-baik jadi belinya malah buku prayboy alias buku doa. HAHAHA.. Aku senang karena film ini tidak melenceng dari bukunya. Aku menikmati setiap langkah yang Dilan ambil adalah tanggung jawabnya sendiri. Di film ketiga ini Dilan mulai menata hidupnya, ia sadar bahwa Milea bukan segalanya. Tetapi disatu sisi ia juga merasa sepi, bahwa hari-hari indah bersama Milea tidak bisa lepas dari pikirannya.
Kurasa Dilan bukan lelaki yang sepenuhnya idaman. Dilan sempat berfikiran pendek tentang Milea yang memiliki kekasih baru padahal ia belum memastikan sendiri. Milea juga sama, ia mudah percaya dengan kabar bahwa dilan sudah punya pacar padahal belum. Cerita ini seolah-olah dibuat untuk kesalahpahaman dan ya sudah, mereka tidak bisa bersama. Toh, Milea akhirnya sudah bersama dengan Mas Herdi yang kemana-mana selalu mengintilinya. Pun Dilan juga menemukan perempuan baru di Bandung.
Scene telepon dan reuni menjelang ending adalah suasana yang awkward. Mungkin ini adalah bagian yang mengesankan, dibuku juga sama, terasa ngenes saat membacanya. Mengenang masa lalu dan saling rindu. Terasa menyedihkan saat perasaan masih ingin bersama tetapi keadaan sudah tak memungkinkan.
Film ketiga ini cukup dalam dan haru. Iqbal mampu menarasikan Suara dari Dilan dengan baik. Walau dalam dialog sesekali ia terlihat tidak natural dalam tertawa. Tetapi, sorotan tajam matanya dan gerak-geriknya cukup meyakinkan untuk membayar kekurangan itu. Sedangkan melihat Vanesha sepertinya ia benar-benar terlahir untuk menjadi Milea.
Film ini mengambil cukup banyak scene di film sebelumnya, namun Alhamdulillah masih bisa dinikmati. Untungnya film ini punya selipan-selipan kilas balik yang apik. Seolah-olah kita dihadapkan untuk mengerti bahwa oh ini loh yang terjadi, semua punya salah masing masing dan harus menjalani hidup semestinya. Mungkin hikmah yang dapat diambil adalah saling memahami, mengerti dan mengikhlaskan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

FEATURE BIOGRAFI (SOSOK)

Luka Membuat Lupa Manusia

Kakung Tiada